Pokerpair88 - Terlebih dahulu aku ingin memperkenalkan diriku namaku Hendra aku berstatus sebagai mahasiswa di kota Kediri, dikampus aku dikenal sebagai cowok kece soalnya penampilanku yang selalu modis dari rambut klimis sampai pakaianku yang aku pakai brand ternama, aku termasuk penggila sex yang mana di usiaku sekarang ini sudah tidak perjaka lagi, nah dibawah ini aku akan menceritakan hilangkanya perjakaku, mari kita simak bersama.
Waktu itu aku nganggap Rere nggak bener-bener sayang sama aku. Aku lagi jutek banget sama dia. Habisnya udah lima bulan pacaran, masak Rere hanya ngasih sun pipi doang. Ceritanya pas aku ngapel ke tempat kostnya, aku ngajakin dia ML.
Habis aku pengin banget sih. (keseringan mantengin VCD parto kali yee…). Tapi si Rere menolak mentah-mentah. Malahan aku diceramahin, busyet dah!
Makanya malam minggu itu aku nggak ngapel (ceritanya ngambek). Aku cuman duduk-duduk sambil gitaran di teras kamar kostku. Semua teman kostku pada ngapel atau entah nglayap kemana. Rumah induk yang kebetulan bersebelahan dengan rumah kost agak sepi.
Sebab sejak tadi sore ibu kost dan bapak pergi ke kondangan. Putri tertua mereka, Murni sudah dijemput pacarnya sejam yang lalu. Sedang Maidy, adiknya Murni entah ngelayap kemana.
Yang ada tinggal Erma, si bungsu dan Ersa, sepupunya yang kebetulan lagi berkunjung ke rumah oomnya. Terdengar irama lagu India dari dalam rumah induk, pasti mereka lagi asyik menonton Gala Bollywood.
Nggak tahu, entah karena suaraku merdu atau mungkin karena suaraku fals plus berisik, Erma datang menghampiriku.
“Lagi nggak ngapel nih, Mas Hendra?” sapanya ramah (perlu diketahui kalau Erma memang orangnya ramah banget)
“Ngapel sama siapa, May?” jawabku sambil terus memainkan Sialannya Cokelat.
“Ah… Mas Hendra ini pura-pura lupa sama pacarnya.”
Gadis itu duduk di sampingku (ketika dia duduk sebagian paha mulusnya terlihat sebab Erma cuman pakai kulot sebatas lutut). Aku cuman tersenyum kecut.
“Udah putus aku sama dia.” jawabku kemudian.
Nggak tahu deh, tapi aku menangkap ada yang aneh dari gelagat Erma. Gadis 19 tahun itu nampaknya senang mendengar aku putus. Tapi dia berusaha menutup-nutupinya.
“Yah, kacian deh… habis putus sama pacar ya?” godanya. “Kayaknya bete banget lagunya.”
Aku menghentikan petikan gitarku.
“Yah, gimana ya… kayaknya aku lebih suka sama Erma deh ketimbang sama dia.”
Nah lo! Kentara benar perubahan wajahnya. Gadis berkulit langsep agak gelap itu merah mukanya. aku segera berpikir, apa bener ya gosip yang beredar di tempat kost ini kalo si Erma ada mau sama aku.
“Erma, kok diam aja? Malu yah…”
Erma melirik ke arahku dengan manja. Tiba-tiba saja batinku merasakan, gadis yang duduk di sampingku ini manis juga yah.
Tinggi langsing semampai, bodinya bibit-bibit peragawati, payudaranya… waduh kok besar juga ya. Tiba-tiba saja jantungku berdebar memandangi tubuh Erma yang cuman pakai kaos ketat tanpa lengan itu.
Belahan dadanya sedikit tampak diantara kancing-kancing manisnya. Ih, ereksiku naik waktu melirik pahanya yang makin kelihatan. Kulit paha itu ditumbuhi bulu-bulu halus tapi cukup lebat seukuran cewek.
“Mas, daripada nganggur gimana kalo Mas Hendra bantu aku ngerjain tugas bahasa inggris?”
“Yah Erma, malam minggu kok ngerjain tugas? Mendingan pacaran sama Mas Hendra, iya nggak?” pancingku.
“Ah, Mas Hendra ini bisa aja godain Erma..”
Erma mencubit pahaku sekilas. Siir.. Wuih, kok rasanya begini. Gimana nih, aku kok kayak-kayak nafsu sama ini cewek. Waduh, penisku kok bangun yah?
“Mau nggak Mas, tolongin Erma?”
“Ada upahnya nggak?”
“Iiih, dimintai tolong kok minta upah sih…”
Cubitan kecil Erma kembali memburu di pahaku. Siiiir… kok malah tambah merinding begini ya?
“Kalau diupah sun sih Mas Hendra mau loh.” pancingku sekali lagi.
“Aah… Mas Hendra nakal deh…”
Sekali lagi Erma mencubit pahaku. Kali ini aku menahan tangan Erma biar tetap di pahaku. Busyet, gadis itu nggak nolak loh. Dia cuman diam sambil menahan malu.
“Ya udah, Erma ambil bukunya trus ngerjain tugasnya di kamar Mas Hendra aja. Nanti tak bantu ngerjain, tak kasih bonus pelajaran pacaran juga, mau?”
Gadis itu cuman senyum saja kemudian masuk rumah induk. Asyik… pasti deh dia mau. Benar saja, nggak sampai dua menit aku sudah bisa menggiringnya ke kamar kostku.
Kami terpaksa duduk di ranjang yang cuman satu-satunya di kamar itu. Pintu sudah aku tutup, tapi nggak aku kunci. Aku sengaja nggak segera membantunya ngerjain tugas, aku ajak aja dia ngobrol.
“Sudah bilang sama Ersa kalo kamu kemari?”
“Iya sudah, aku bilang ke tempat Mas Hendra.”
“Trus si Ersa gimana? Nggak marah?”
“Ya enggak, ngapain marah.”
“Sendirian dong dia?”
“Mas Hendra kok nanyain Ersa mulu sih? Sukanya sama Ersa ya?” ujar Erma merajuk.
“Yee… Erma marah. Cemburu ya?”
Erma merengut, tapi sebentar sudah tidak lagi. Dibuka-bukanya buku diktat yang dia bawa dari rumah induk.
“Erma udah punya pacar belum?”tanyaku memancing.
“Belum tuh.”
“Pacaran juga belum pernah?”
“Katanya Mas Hendra mau ngajarin Erma pacaran.” balas Erma.
“Erma bener mau?” Gayung bersambut nih, pikirku.
“Pacaran itu dasarnya harus ada suka.” lanjutku ketika kulihat Erma tertunduk malu. “Erma suka sama mas Hendra?”
Erma memandangku penuh arti. Matanya seakan ingin bersorak mengiyakan pertanyaanku. tapi aku butuh jawaban yang bisa didengar. Aku duduk merapat pada Erma.
“Erma suka sama Mas Hendra?” ulangku.
“Iya.” gumamnya lirih.
Bener!! Dia suka sama aku. Kalau gitu aku boleh…
“Mas Hendra mau ngesun Erma, Erma nurut aja yah…” bisikku ke telinga Erma
Tanganku mengusap rambutnya dan wajah kami makin dekat. Erma menutup matanya lalu membasahi bibirnya (aku bener-bener bersorak sorai). Kemudian bibirku menyentuh bibirnya yang seksi itu, lembut banget.
Kulumat bibir bawahnya perlahan tapi penuh dengan hasrat, nafasnya mulai berat. Lumatanku semakin cepat sambil sekali-sekali kugigit bibirnya.
Mmm..muah… kuhisap bibir ranum itu.
“Engh.. emmh..” Erma mulai melenguh.
Nafasnya mulai tak beraturan. Matanya terpejam rapat seakan diantara hitam terbayang lidah-lidah kami yang saling bertarung, dan saling menggigit. Tanganku tanpa harus diperintah sudah menyusup masuk ke balik kaos ketatnya.
Kuperas-peras payudara Erma penuh perasaan. ereksiku semakin menyala ketika gundukan hangat itu terasa kenyal di ujung jari-jariku.
Bibirku merayap menyapu leher jenjang Erma. Aku cumbui leher wangi itu. Kupagut sambil kusedot perlahan sambil kutahan beberapa saat. Gigitan kecilku merajang-rajang birahi Erma.
“Engh.. Masss… jangan… aku uuuh…”
Ketika kulepaskan maka nampaklah bekasnya memerah menghias di leher Erma.
“Erma… kaosnya dilepas ya sayang…”
Gadis itu hanya menggangguk. Matanya masih terpejam rapat tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Nafasnya memburu. Sambil menahan birahi, kubuka kaos Erma dengan tangan kananku.
Sedang tangan kiriku masih terus meremas payudara Erma bergantian dari balik kaos. Tak tega rasanya membiarkan Erma kehilangan kenikmatannya.
Jemari Erma menggelitik di dada dan perutku, membuka paksa hem lusuh yang aku kenakan. Aku menggeliat-geliat menahan amukan asmara yang Erma ciptakan.
Kaos pink Erma terjatuh di ranjang. Mataku melebar memandangi dua gundukan manis tertutup bra pink tipis. Kupeluk tubuh Erma dan kembali kuciumi leher jenjang gadis manis itu, aroma wangi dan keringatnya berbaur membuatku semakin bergairah untuk membuat hiasan-hiasan merah di lehernya.Perlahan-lahan kutarik pengait BH-nya, hingga sekali tarik saja BH itupun telah gugur ke ranjang. Dua gundukan daging itupun menghangat di ulu hatiku.
Kubaringkan perlahan-lahan tubuh semampai itu di ranjang. Wow… payudara Erma (yang kira-kira ukuran 34) membengkak. Ujungnya yang merah kecoklatan menggairahkan banget. Beberapa kali aku menelan ludah memandangi payudara Erma. Ketika merasakan tak ada yang kuperbuat, Erma memicingkan mata.
“Ma… pentilmu udah gede banget Ma…”
“Udah waktunya dipetik ya mass…”
“Ehem, biar aku yang metik ya Ma…”
Aku berada di atas Erma. Tanganku segera bekerja menciptakan kenikmatan demi kenikmatan di dada Erma.
Putar… putar.. kuusap memutar pentil bengkak itu.
“Auh…Mass.. Aku nggak tahan Mass… kayak kebelet pipis mas..” rintih Erma.
Tak aku hiraukan rintihan itu. Aku segera menyomot payudara Erma dengan mulutku.
“Mmmm… suuup… mmm…” kukenyot-kenyot lalu aku sedot putingnya.
“Mass… sakiit…” rintih Erma sambil memegangi vaginanya.
Sekali lagi tak aku hiraukan rintihan itu. Bagiku menggilir payudara Erma sangat menyenangkan. Justru rintihan-rintihan itu menambah rasa nikmat yang tercipta.
Tapi lama kelamaan aku tak tega juga membuat Erma menahan kencing. Jadi aku lorot saja celananya. Dan ternyata CD pink yang dikenakan Erma telah basah.
“Erma kencing di celana ya Mass?”
“Bukan sayang, ini bukan kencing. Cuman lendir vaginamu.”
Erma tertawa mengikik ketika telapak tanganku kugosok-gogokkan di permukaan vaginanya yang telah basah. Karena geli selakangnya membuka lebar. Vaginanya ditumbuhi bulu lebat yang terawat. Lubang kawin itu mengkilap oleh lendir-lendir kenikmatan Erma. Merah merona, vagina yang masih perawan.
Tak tahan aku melihat ayunya lubang kawin itu. Segera aku keluarkan penisku dari sangkarnya. Kemudian aku jejalkan ke pangkal selakangan yang membuka itu.
“Tahan ya sayang…engh..”
“Aduh… sakiiit mass…”
“Egh… rileks aja….”
“Mas… aah!!!” Erma menjambak rambutku dengan liar.
Slup… batang penisku yang perkasa menembus goa perawan Erma yang masih sempit. Untung saja vagina itu berair jadi nggak terlalu sulit memasukkannya. Perlahan-lahan, dua centi, lima centi masih sempit sekali.
“Aduuuh Masss… sakiiit…” rintih Erma.
Aku hentakkan batang penisku sekuat tenaga.
“Jruub…”
Langsung amblas seketika sampai ujungnya menyentuh dinding rahim Erma. Batang penisku berdenyut-denyut sedikit sakit bagai digencet dua tembok tebal. Ujungnya tersentuh suatu dinding yang hangat. Aku tarik kembali penisku. Lalu masukkan lagi, keluar lagi begitu berkali-kali. Rasa sakitnya berangsur-angsur hilang.
Aku tuntun penisku bergoyang-goyang.
“Sakit sayang…” tanyaku.
“Enakkk…eungh…” Erma menyukainya.
Ia pun ikut mengggoyang-goyangkan pantatnya. Makin lama makin keras sampai-sampai ranjang itu berdecit-decit. Sampai-sampai tubuh Erma berayun-ayun. Sampai-sampai kedua gunung kembar Erma melonjak-lonjak. Segera aku tangkap kedua gunung itu dengan tanganku.
“Enggh.. ahhh..” desis Erma ketika tanganku mulai meremas-remasnya.
“Mass aku mau pipis…”
“Pipis aja Ma… nggak papa kok.”
“Aaach…!!!”
“Hegh…engh…”
“Suuur… crot.. crot.. ”
Lendir kawin Erma keluar, spermaku juga ikut-ikutan muncrat. Kami telah sama-sama mencapai orgasme.
“Ah…” lega. Kutarik kembali penisku nan perkasa. Darah perawan Erma menempel di ujungnya berbaur dengan maniku dan cairan kawinnya. Kupeluk dan kuciumi gadis yang baru memberiku kepuasan itu. Erma pun terlelap kecapaian.
Kreek… Pintu kamarku dibuka. Aku segera menengok ke arah pintu dengan blingsatan. Ersa terpaku di depan pintu memandangi tubuh Erma yang tergeletak bugil di ranjang kemudian ganti memandangi penisku yang sudah mulai melemas.
Tapi aku juga ikut terpaku kala melihat Ersa yang sudah bugil abis. Aku tidak tahu kalau sejak Erma masuk tadi Ersa mengintip di depan kamar.
“Ersa? Ng… anu..” antara takut dan nafsu aku pandangi Ersa.
Gadis ini lebih tua dua tahun diatas Erma. Pantas saja kalau dia lebih matang dari Erma. Walau wajahnya tak bisa menandingi keayuan Erma, tapi tubuhnya tak kalah menarik dibanding Erma, apalagi dalam keadaan full naked kayak gitu.
“Aku nggak akan bilang ke oom dan tante asal…”
“Asal apaan?”
Mata Ersa sayu memandang ke arah Erma dan penisku bergantian. Lalu dia membelai-belai payudara dan vaginanya sendiri. Tangan kirinya bermain-main di belahan vaginanya yang telah basah. Ersa sengaja memancing birahiku. Melihat adegan itu, gairahku bangkit kembali, penisku ereksi lagi. Tapi aku masih ingin Ersa membarakan gairahku lebih jauh.
Ersa duduk di atas meja belajarku. Posisi kakinya mekangkang sehingga vaginanya membuka merekah merah. Tangannya masih terus meremas-remas susunya sendiri. Mengangkatnya tinggi seakan menawarkan segumpal daging itu kepadaku.
“Mas Hendra.. sini.. ayo…”
Aku tak peduli dia mengikik bagai perek. Aku berdiri di depan gadis itu.
“Ayo.. mas mainin aku lebih hot lagi..” pintanya penuh hasrat.
Aku gantiin Ersa meremas-remas payudaranya yang ukuran 36 itu. Puting diujungnya sudah bengkak dan keras, tanda Ersa sudah nafsu banget.
“Eahh.. mmhh…” rintihannya sexy sekali membuatku semakin memperkencang remasanku.
“Eahhh.. mas.. sakit.. enak….”
Ersa memainkan jarinya di penisku. Mempermainkan buah jakarku membuatku melenguh keasyikan.
“Sa… tanganmu nakal banget…”
Gadis itu cuman tertawa mengikik tapi terus mempermainkan senjataku itu. Karena gemas aku caplok susu-susu Ersa bergantian. Kukenyot sambil aku hisap-hisap.
“Auh…”
Ersa menekan batang penisku.
“Sa… sakit sayang” keluhku diantara payudara Ersa.
“Habis dingin kan mas…” balasnya.
Setelah puas aku pandangi wajah Ersa.
“Ersa, mau jurus baru Mas Hendra?”
Gadis itu mengangguk penuh semangat.
“Kalau gitu Ersa tiduran di lantai gih!”
Ersa menurut saja ketika aku baringkan di lantai. Ketika aku hendak berbalik, Ersa mencekal lenganku. Gadis yang sudah gugur rasa malunya itu segera merengkuhku untuk melumat bibirnya. Serangan lidahnya menggila di ronga mulutku sehingga aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengimbanginya.
Tanganku dituntunnya mengusap-usap lubang vaginanya. Tentu saja aku langsung tanggap. Jari-jariku bermain diantara belantara hitam nan lebat diatas bukit berkawah itu. “Mmmm… enghh…”
Kami saling melenguh merasakan sejuta nikmat yang tercipta.
Aku ikut-ikutan merebah di lantai. Aku arahkan Ersa untuk mengambil posisi 69, tapi kali ini aku yang berada di bawah. Setelah siap, tanpa harus diperintah Ersa segera membenamkan penisku ke dalam mulutnya (aku jadi berpikiran kalau gadis ini sudah berpengalaman).
Ersa bersemangat sekali melumat penisku yang sejak tadi berdenyut-denyut nikmat. Demikian juga aku, begitu nikmatnya menjilati lendir-lendir di setiap jengkal vagina Ersa, sedang jariku bermain-main di kedua payudaranya.
Srup srup, demikian bunyinya ketika kusedot lendir itu dari lubang vagina Ersa. Ukuran vagina Ersa sedikit lebih besar dibanding milik Erma, bulu-bulunya juga lebih lebat milik Ersa. Dan klitorisnya… mmm… mungil merah kenyal dan mengasyikkan. Jadi jangan ngiri kalo aku bener-bener melumatnya dengan lahap.
“Ngngehhh…uuuhh..” lenguh Ersa sambil terus melumat senjataku.
Sedang lendir kawinnya keluar terus.
“Saa… isep sayang, iseppp…” kataku ketika aku merasa mau keluar.
Ersa menghisap kuat-kuat penisku dan crooott… cairan putih kental sudah penuh di lubang mulut Ersa. Ersa berhenti melumat penisku, kemudian dia terlentang dilantai (tidak lagi menunggangiku). Aku heran dan memandangnya.
“Aha…” ternyata dia menikmati rasa spermaku yang juga belepotan di wajahnya, dasar cewek gemblung.
Beberapa saat kemudian dia kembali menyerang penisku. Mendapat serangan seperti itu, aku malah ganti menyerangnya. Aku tumbruk dia, kulumat bibirnya dengan buas. Tapi tak lama Ersa berbisik,
“Mas.. aku udah nggak tahan…”
Sambil berbisik Ersa memegangi penisku dengan maksud menusukannya ke dalam vaginanya.
Aku minta Ersa menungging, dan aku siap menusukkan penisku yang perkasa. penisku itu makin tegang ketika menyentuh bibir vagina. Kutusuk masuk senjataku melewati liang sempit itu.
“Sakit Mas…”
Sulitnya masuk liang kawin Ersa, untung saja dindingnya sudah basah sejak tadi jadi aku tak terlalu ngoyo.
“Nggeh… dikit lagi Sa…”
“Eeehhh…!!”
“Jlub…” 17 centi batang penisku amblas sudah dikenyot liang kawin Ersa. Aku diamkan sebentar lalu aku kocok-kocok seirama desah nafas.
“Eeehh… terus mass… uhh…”
Gadis itu menggeliat-geliat nikmat. Entah sadar atau tidak tangan Ersa meremas-remas payudaranya sendiri.
Lima belas menit penisku bermain petak umpet di vagina Ersa. Rupaya gadis itu enggan melepaskan penisku. Berulang-ulang kali spermaku muncrat di liang rahimnya. Berulang-ulang kali Ersa menjerit menandakan bahwa ia berada dipuncak kepuasan tertinggi. Hingga akhirnya Ersa kelelahan dan memilih tidur terlentang di samping Erma.
Capek sekali rasanya menggarap dua cewek ini. Aku tak tahu apa mereka menyesal dengan kejadian malam ini. Yang pasti aku tak menyesal perjakaku hilang di vagina-vagina mereka. Habisnya puas banget. Setidaknya aku bisa mengobati kekecewaanku kepada Rere.
Malam makin sepi. Sebelum yang lain pada pulang, aku segera memindahkan tubuh Erma ke kamarnya lengkap dengan pakaiannya. Begitu juga dengan Ersa. Dan malam ini aku sibuk bergaya berpura-pura tak tahu-menahu dengan kejadian barusan. Lagipula tak ada bukti, bekas cipokan di leher Erma sudah memudar.
He.. he.. he.. mereka akan mengira ini hanya mimpi.